ANTARA AKU, CITA-CITA, DAN KEINGINAN IBU
“Kamu tundah
setahun dulu yah, Nak?” Kata Ibu. Dilematis
sering menghantui jiwa akhir-akhir ini sejak permintaan itu dilontarkan
kepadaku. Permintaan itu seakan memberatkan langkah kakiku untuk melanjutkan
mimpiku yang begitu tinggi. Aku bimbang, bingung, dan sedih. Haruskah aku
menguburkan mimpi ini yang sudah aku rajut sejak lama.
Sejak duduk di bangku SMA aku sudah berkeinginan
kelak setelah aku menamatkan pendidikan, aku akan meneruskan pendidikanku di
sekolah kedokteran. Mimpi dan cita-cita itu pun sudah aku bicarakan pada Ibunda
yang menjadi tulang punggung keluarga waktu itu setelah ayah tiada. Namun hanya
bisa dibalasnya dengan senyuman tulus. Senyuman itu aku anggap sebagai jawaban positif
bahwa aku dapat melanjutkan ke sekolah yang membutuhkan ‘budget’ yang tidak
sedikit ini. Dukungan dari berbagai pihak pun berdatangan termasuk Opa, adik
sepupu kakek dari ibu yang sudah aku anggap sebagai orang tua kandungku sendiri
yang selalu meyakini Ibu untuk memberiku kesempatan melanjutkan sekolah.
Saking bersemangat ingin melanjutkan ke jenjang
pendidikan kesehatan tersebut, aku mencari informasi dari Internet dan beberapa
literatur tentang Perguruan Tinggi di Indonesia. Kedokteran menjadi jurusan
sasaran utama yang aku tuju. Aku mencari informasi tentang biaya pendidikan
yang harus dikeluarkan pada awal semester. Konon katanya, sekolah kedokteran
menargetkan uang pendidikan awal yang terkadang mencekik leher orang tua. Murah
dan dapat dijangkau menjadi pilihanku. Persoalan tentang penilaian dan
klasifikasi kampus tidak begitu aku hiraukan. Hal yang penting adalah aku bisa
menjadi dokter. “Menjadi dokter yang
handal dan tangan dingin itu bukan karena kampusnya tetapi karena usaha pribadi
yang mau belajar dan bekerja keras untuk menggapai semua itu”, begitu
prinsipku yang terus mendengung dalam hati dan pikiran. Pilihanku jatuh di
beberapa Perguruan Tinggi. Salah satunya adalah Pendidikan Dokter Universitas
Nusa Cendana. Walaupun menjadi salah satu jurusan pendidikan dokter termuda di
Indonesia, tetap menjadi pilihanku yang begitu kuat karena selain biaya yang
murah, letaknya yang tidak begitu jauh di ibukota provinsi yang aku tempati
sehingga aku tetap bisa berada dekat keluarga kecilku yang aku cintai. Semua
informasi yang sudah aku dapatkan itu, aku sampaikan pada Ibu. Namun tetap saja
aku mendapatkan balasan yang sama.
Tibalah pada suatu waktu ketika aku sudah berada
pada tingkat akhir masa pendidikanku di SMA, aku sampaikan keinginan dan
informasi yang sudah aku kumpulkan sejak lama hendak mendapat restu yang pasti
untuk melanjutkan pendidikan di sekolah kedokteran. Keputusan yang sangat
mengiris pilu harus ku terima pada waktu itu. Linangan air mata menggambarkan
rasa tidak terima dengan keputusan Ibu yang membuat aku harus menguburkan mimpi
lamaku ini.
“Anak,
maaf mama tidak bisa membiayai kamu untuk meneruskan pendidikanmu di sekolah
kedokteran seperti yang kamu impikan itu. Apalah artinya mama hanya seorang
janda yang hanya bisa mencukupi kebutuhan harian kamu dan adikmu. Adikmu juga
juga sekarang sedang bersekolah di sekolahan swasta yang membutuhkan biaya.
Jika kamu ingin meneruskan pendidikan, kamu harus mencarinya kembali dengan
syarat adalah mama bisa menjangkaunya dengan baik dan tidak menyusahkan
keluarga kecil kita ke depannya nanti”
Kata Ibu yang seakan memberikanku pengertian namun tanpa ada maksud untuk
mengecewakanku.
Setelah mendengar itu, aku langsung berdiam diri di
kamar. Tak kuat menahan dengungan kalimat yang baru saja diucapkan itu membuat
mataku terus menjatuhkan air mata seakan ikut merasakan pilu yang tak kuat
menahan karena terus disileti oleh kata-kata itu. Aku belum dan tidak bisa
menerima keputusan Ibu. Ku buka kembali tumpukan kertas berisi informasi yang
sudah ku cari selama ini, semakin teriris rasanya. Apa daya mimpi yang tak
berfondasi. Tidak hanya berhenti disitu. Aku mencari jalan lain untuk tetap
bisa mempertahankan semua yang sudah aku lakukan selama ini. Aku segera
menghubungi Opa. Berharap Opa dapat membantuku meyakini Ibu agar aku bisa
meneruskan mimpiku ini. Namun harus aku akui bahwa aku kalah. Keputusan Ibu
sudah bulat. Saran dari Opa tidak digubris Ibu sama sekali. “Tuhan, inikah jalanku?” Inilah
pertanyaan yang sering aku tanyakan kepada sang Khalik dalam setiap untaian
doaku. Aku merasa risih setiap kali ada teman yang menanyakan tentang
kelanjutan pendidikanku kelak. Hanya menambah dalam tusukan ini saja.
Berdiam diri tidak akan menjawabi ini sampai
selesai. Itulah yang aku lakukan. SMA yang aku tempati untuk belajar tersebut
menjalin kerja sama dengan beberapa Universitas Swasta yang ada di Indonesia.
Salah satunya Universitas Tarumanegara, salah satu perguruan tinggi swasta di
daerah Ibukota Jakarta yang membuka seleksi masuk kampus pada waktu itu. Aku
langsung bergegas untuk mendaftar ke bagian HUMAS sekolah tanpa memberi tahu
Ibu sebelumnya. Aku sangat tertarik karena ku tahu kampus tersebut merupakan
salah satu kampus terbaik dalam melanjutkan pendidikan didasari pada informasi
yang sudah aku cari sebelumnya.
Aku pun mengikuti seleksi masuk kampus tersebut.
Setelah beberapa minggu menunggu, aku dinyatakan lulus seleksi. Aku sangat
bersyukur karena hanya beberapa siswa dari keseluruhan siswa yang mengikuti tes
dapat masuk perguruan tinggi ini. Aku sangat terkejut saat diberikan ‘list’
registrasi awal untuk bisa masuk kampus ini. Biayanya sangat besar setara
dengan biaya perkuliahan kedokteran yang pernah aku sampaikan kepada Ibu
sebelumnya. Pada awalnya aku mengurungkan niatku untuk memberi tahu Ibu. Namun
desakan HUMAS sekolah yang harus memberikan jawaban balasan atas kesanggupan
melunasi uang registrasi awal
mendorongku untuk memberi tahu Ibu. Aku takut, aku akan mnedapat jawaban yang
sama. Alhasil apa yang sudah ku duga benar adanya. Ibu sangat bahagia karena
mengetahui anaknya telah lulus seleksi di salah satu perguruan tinggi. Namun
saat aku menyodorkan ‘list’ tersebut, raut wajah Ibu langsung berubah.
“Mama,
tidak sanggup anak untuk membiayai kamu masuk Perguruan Tinggi ini. Beban
biayanya terlalu besar Nak. Mana kamu harus hidup di Ibukota yang biaya hidup
hariannya saja sangat tinggi. Ingatlah yang pernah mama sampaikan sebelumnya,“
kata Ibu seraya memelukku dan memberiku proficiat walaupun tak ada realisasi
dari apa yang telah aku dapat itu.
“Iya
mama, riki tahu itu” kata ku seraya
membalas pelukan Ibu. Dekapannya membuatku hanyut. Dan tak terasa linangan air
mata itu hadir kembali. Aku bukanlah anak yang cengeng namun dengan keadaan
yang aku harus hadapi akhir-akhir ini membuatku terkadang terus diliputi rasa
sedih.
Keesokan harinya, aku langsung
menghadapi bagian HUMAS sekolah, yang adalah wali kelasku saat aku duduk di
kelas X, Sensei Nato, begitulah sering ia dipanggil karena keberadaannya
sebagai Guru bahasa jepang di sekolah. Saat ku temui, aku langsung mengutarakan
pengunduran diriku dari persekolahan yang sudah terbuka lebar bagiku,yang
tinggal melangkah, namun langkah itu tersandung oleh jeratan biaya yang sangat
kuat. Dia sangat memahami apa yang aku alami kerana dia sangat mengetahui latar belakang keluargaku.
Dia pun memberikan semangatku kembali untuk tidak berhenti melangkah dalam
mencari jalan menggapai cita-citaku dengan mengatakan bahwa dalam waktu dekat akan
diadakan SNMPTN Jalur undangan.
Dan
semua siswa kelas XII berkesempatan untuk mengikuti. Apabila lulus, biaya
pendidikannya relatif sangat murah karena mendapat potongan hingga 75%. Aku
menyambut baik kabar gembira itu. Harapku aku bisa lulus lagi kali ini, dapat
berkuliah di salah satu PTN terkenal di Indonesia dan yang terpenting beroleh
restu dari orang tua.
SNMPTN Jalur Undangan pun
dilaksanakan serentak se-nasional. Aku dinyatakan lulus seleksi awal dan kini
harus mengikuti seleksi kedua dengan memilih 2 Perguruan Tinggi Negeri di
Indonesia dengan masing-masing PTN 2 jurusan. Aku bingung dengan pilihan
universitas yang akan aku pilih. Aku memberi tahu kabar gembira ini kepada Ibu.
Ibu sangat berantusias dalam memilih dan menentukan masa depan. Aku bergegas
mengajak Ibu ke ‘warnet’, seperempat perjalanan dari kediaman keluargaku. Ibu
merekomendasikan untuk memilih Univesitas dan jurusan yang kuantitas peminatnya
sedikit sehingga potensi untuk lulus besar. Setelah berdiskusi panjang-lebar di
salah satu bili dalam warnet tersebut, pilihan kami berdua kemudian jatuh pada
UNAIR Surabaya dengan jurusan Farmasi untuk pilihan1, Matematika pilhan 2 dan
IPB Bogor dengan jurusan Stastistik untuk pilihan 1, Matematika pilihan 2. Aku
menjatuhkan pilihannku pada pilihan jurusan yang bersifat matematis karena aku
sangat suka dengan pelajaran yang satu ini. Namun pada akhirnya, dewi fortuna
belum memihak kepadaku. Aku tidak lulus seleksi. Aku besar hati menerima hasil
tersebut karena persaingan yang sangat ketat secara nasional sehingga
kemungkinan untuk lulus sangat kecil. Ibuku tetap memberiku semangat untuk tetap
mencari jalan yang lain dan tetap tekun berdoa minta petunjuk pada-Nya.
Bagian HUMAS mengumumkan bahwa yang
tidak lulus seleksi dapat mengikuti SNMPTN Jalur tertulis. Aku tetap menyambut
baik hal ini. Namun semangatku perlahan-lahan hilang saat mengetahui bahwa
sakit yang diderita Ibu semakin parah. Sejak lama Ibu telah mengidap penyakit
kanker payudara. Ibu termasuk ‘survivor sejati’. Karena sejak aku berada di
bangku SD hingga SMA, Ibu masih bisa bertahan menahan rasa sakit yang terkadang
mencemaskan hatinya. Keluargaku sudah membujuk Ibu untuk menyudahi penyakitnya
dengan jalan operasi. Namun mental Ibu tidak kuat menghadapi meja operasi.
Lagian biaya yang digunakan untuk operasi sangat besar itu dapat digunakan
untuk biaya sekolah anak-anakku dan kebutuhan hidup sehari-hari. Begitulah
prinsipnya yang membuat beliau terus bertahan demi anak-anak yang Ia sayangi.
Ibu adalah sosok yang sangat kuat, single parent yang harus berperan ganda bagi
anak-anaknya di tengah-tengah situasi kanker yang terus menggerogoti tubuhnya
itu.
Dalam perenunganku, Aku terkadang
merasa diperlakukan tidak adil oleh sang Khalik. Ayah telah tiada, kini Ibu
yang menjadi harapan satu satunya aku dan adikku harus mengalami hal seperti ini.
“Bagaimana
dengan kebahagian keluarga kami?”
“Kapan ada tawa
canda seperti sebelumnya saat ayah masih ada dan kehidupan keluarga ini masih
sejahtera? “
Begitu
banyak ganjalan pertanyaan-pertanyaan akan kehidupan keluarga yang begitu
terasa membebani aku pribadi pada waktu itu.
“Tuhan maafkan hamba-Mu
ini, saat hamba-Mu terus menyalahka-Mu dengan situasi yang hamba-Mu saat ini.”
Untaian tobatku yang menyesal setelah mengatakan hal tersebut.
Keadaan
itu sempat membuatku berubah pikiran untuk tidak melanjutkan pendidikanku.
“Mungkin aku
harus berhenti di jenjang ini saja! Ke depannya mama pasti akan membutuhkan
biaya pengobatan yang sangat besar dan aku tidak tega meninggalkan mama
sendirian menghadapi situasi itu sendiri.” Pikirku
sepintas.
Sambil menanti infromasi pendaftaran
SNMPTN Jalur tertulis, Aku terdorong kembali untuk mengejar mimpiku saat teman
sejawatku memberikan informasi tentang pembukaan sekolah berbeasiswa bekerja
sama dengan Lembaga Pemerintahan yang ada di kotaku. Ada 2 sekolah berbeasiswa
yang dapat aku ikuti. Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (STIS) dan STEKPI, School of
Bussiness and Management. Kedua Sekolah ini berada di daerah Ibukota Jakarta. Dan
kedua sekolah ini membebaskan pungutan biaya apapun saat pendidikan ,
berasrama, pemenuhan biaya hidup, dan arah masa depannya sudah sangat jelas.
Dengan tidak lama menunggu, aku pun langsung mendaftar di kedua sekolah ini.
Aku hanya berpikir bahwa dengan apa yang aku lakukan sekarang dapat meringankan
beban Ibu. Ibu akan focus dengan pengobatannya dan aku pun demikian, fokus
dengan mengejar masa depanku.
“ Selamat Anda
Lulus seleksi dan mendapatkan beasiswa perpajakan student loan,”
begitulah isi surat pengantar kelulusan berlogokan Lembaga Persekolahan STEKPI
Jakarta.
Aku sangat senang pada waktu itu. Aku beranjak
memberi tahu Ibu. Namun Ibu hanya membalas dengan senyuman dan air mata.
“ Riki, jangan
kasih tinggal mama ko, mama sendiri di sini dengan ade berto. Kalau kau jalan
mama dengan siapa nanti, tidak ada yang jaga dan rawat mama lagi.”
Kata Ibu dengan berat hati dan linangan air mata yang membasahi pipinya
“iya mama, Riki
tidak akan kasih tinggal mama sendiri disini”,
kata aku dengan berat hati.
“kalau Riki mau,
Riki lanjutkan sekolahmu disini saja biar dekat dengan mama, nanti apa yang
Riki minta mama pasti akan penuhi”, tawar
mama kepada aku. Namun aku lebih memilih untuk diam merenungi nasibku.
Tinggal beberapa minggu lagi, siswa yang dinyatakan
lulus itu harus berangkat ke Jakarta dan mendaftar ulang. Namun aku hanya
berdiam di kamar dan menatap dalam surat kelulusan yang ku dapat.
“Tuhan aku harus
mengubur mimpi ini lagi. Ini demi mama”, kataku
dengan mantap sambil memasukan surat kelulusan itu ke dalam Map, bingkai
kenangan pribadi.
Beberapa hari kemudian sebelum hari yang ditentukan
untuk berangkat. Anak dari Nenek yang adalah teman sejawatku yang juga lulus
seleksi meneleponku memastikan aku bisa berangkat atau tidak. Namun aku dengan
mantap berkata tanpa alasan, aku mengundurkan diri. Aku akan mencari jalan lain
untuk melanjutkan kuliah. Kelulusanku tersebut tidak hanya di ketahui oleh
keluarga kecilku, namun semua anggota keluarga. Mereka sangat marah dan kecewa
dengan sikapku yang seenaknya mengambil keputusan mengundurkan diri. Terutama
opa. Mereka menyesalkanku yang tidak memberikan mereka informasi sebelumnya tetntang
kelulusanku sehingga mereka dapat membantuku untuk meyakini Ibu. Tapi
keputusanku sudah bulat pada waktu itu. Aku merasa iba dan tidak tega
meninggalkan ibu sendirian.
Akhirnya pendaftaran SNMPTN Jalur tertulis pun di
buka. Aku sudah menunggu waktu ini. Namun tetap saja berat hati karena
pikiranku yang terganggu dengan keadaan Ibu yang semakin memburuk dari hari ke
hari.
Aku
pun memutuskan untuk tetap mendaftar. Aku menjatuhkan pilihan universitas yang
tidak jauh dari daerah aku tinggal. Pilihanku jatuh pada Universitas Nusa
Cendana, Kupang. Dengan pilihan jurusan Matematika dan Kedokteran Hewan.
Saat ingin berangkat ke kupang untuk mengikuti tes
pun, Ibu tetap saja berat hati untuk memberikanku izin mengikuti tes. Namun Ibu
pun luluh saat aku membujuknya bahwa pilihan daerahku untuk melanjutkan
pendidikan tidak jauh dari Ibu. Aku berangkat ke Kupang dengan tekad dan niatku
yang sangat bulat untuk lulus di salah satu pilihan karena inilah kesempatan
terakhirku untuk menikmati indahnya bangku perkuliahan.
Hampir sebulan lamanya aku menunggu pengumuman
itu. Pada hari dimana pengumuman itu
akan dipublikasikan, aku memohon pada Ibu untuk memberi restu buatku untuk
melanjutkan pendidikan jikalau aku dinyatakan lulus. Ibu pun mengiyakan
permohonanku itu. Aku langsung beranjak ke warnet, tempat dimana Ibu dan aku
menentukan pilihan masa depanku dulu.
“Proficiat anda
diterima di Jurusan Matematika Universitas Nusa Cendana Kupang”.
Sontak aku langsung lompat kegirangan menyambut berita baik itu. Aku tak lagi
lama menunggu. Aku langsung berlarian kecil ke rumahku. Aku langsung
menyampaikan kabar baik ini kepada Ibu. Dan Ibu pun turut merasa kegembiraan
yang aku alami. Kegembiraan yang Ibu rasakan itu ditandai dengan melayangkan
pertanyaan kepadaku kapan dibuka pendaftaran ulang. Aku seketika langsung
memeluk Ibu. Dalam hati kecil, aku
berdoa, “Tuhan terima kasih, Engkau masih
memberikan aku jalan. Aku harap ini benar-benar akhir dari penantian dan
usahaku selama ini.”
Seminggu kemudian, aku menuju ke kupang, untuk
mendaftar ulang. Setelah sehari semalam berada di tengah lautan lepas, akhirnya
aku tiba di ibukota provinsi NTT ini. Keesokan harinya, dengan bekal uang
pemberian Ibu untuk registrasi, aku melangkah di deretan anak tangga yang sudah
dipadati ribuan siswa lainnya yang juga lulus seperti aku. Setelah beberapa
hari mengurus registrasi di kampus. Aku pun mencari ‘kost-kostan’, tempat yang
akan aku jadikan kediaman selama aku menempuh pendidikan. Kesibukan aku ini
dibantu oleh kakak, adik Istri Om Kandungku yang sedang menempuh semester akhir
di kampus yang sama. Setelah semuanya beres, aku memutuskan untuk kembali ke
Ende, mengambil barang-barang dan keperluan yang akan dibawa sekaligus
berpamitan dan minta doa dari keluarga, terkhususnya adik dan Ibu.
2 minggu sebelum
perjalanan aku kembali ke Kupang, kondisi Ibu masih stabil. Namun kondisi
semakin memburuk menjelang hari-hari keberangkatan. Ibu sering menangis karena
merasa takut aku akan meninggalkan ibu sebentar lagi. Hari-hari itu aku isi
dengan memberikan penguatan kepada Ibu. Namun tetap saja ibu tak merelakan
kepergianku. Aku mulai bimbang, bingung, dan merasa kecewa dengan sikap Ibu
yang memperlakukan aku seperti ini. Seakan perjuangan dan usahaku selama tidak
dihargai sama sekali.
“mama cobalah mengerti
Riki kali ini, riki sudah berjuang”
kataku meyakini mama
“iwa pati dhoa mama ko,
mama mesa le, berto iwa sama no miu, miu so dewasa” yang
artinya “tidak kasian mama, nanti mama
sendiri disini, adikmu Berto tidak sama sepertimu, Dia belum tahu apa-apa, kamu
lebih dewasa dari dia” Kata ibu memaksa
“kamu tundah setahun
dulu e anak?” tambah mama menawarkan
Aku langsung masuk ke kamar dengan
membanting pintu kamar, meninggalkan mama yang menangis terseduh-seduh di luar
kamarku.
“Tuhan aku tidak sanggup menghadapi ini”,
doaku mencari sandaran
Aku langsung keluar kamar dan memeluk
Ibu. Aku akan memenuhi keinginan Ibu lagi. Aku memutuskan untuk tidak berangkat
ke kupang, tidak mengikuti kegiatan ospek dan martikulasi sebagai bagian dari
kegiatan penerimaan mahasiswwa baru, sekaligus membuka galian lama, menaruh
mimpi ini diantara deretan mimpi lama yang sudah aku kuburkan sebelumnya, dan
tidak mengingatnya lagi.
“Anak e, kau lanjut
kuliah disini saja e, kau harus ganti mama jadi Guru, Guru Matematika seperti
impianmu, bagaimana?” tawar mama untuk
kesekian kalinya
“Tuhan semoga aku kuat
menghadapi hari-hariku di rumah ini” batinku
sambil membalas tawaran mama dengan senyuman.
Aku bermaksud
menghubungi pihak kampus untuk melakukan penundaan perkuliahan ke tahun
berikutnya. Namun apa daya hari orientasi mahasiswa baru sudah terlewatkan
bagiku tanpa konfirmasi kepada pihak terkait sebelumnya sehingga mimpiku untuk
melanjutkan pendidikan di bangku perkuliahan di tahun berikutnya pun harus ku
usahakan dari awal lagi. Walaupun demikian, aku tidak berputus asa. Aku jalani hari
dengan berbagai kegiatan terlebih khususnya menggantikan peran Ibu dalam
mengurus rumah tangga keluarga.
Hal ini dilakukan karena beberapa
bulan terakhir ibu memutuskan untuk cuti dari pekerjaannya sebagai guru BK di
sebuah SMP di pinggiran kota dan lebih memfokuskan kegiatannya untuk
pengobatannya.
Pada suatu hari
di bulan Agustus 2012, seorang kerabat keluarga datang membawa info tentang
beasiswa keguruan melalui Dinas PPO kabupaten setempat. Tanpa berpikir panjang,
aku bersama seorang teman menuju tempat informasi pendaftaran membereskan
segala administrasi yang diperlukan untuk seleksi dari beasiswa keguruan ini.
Informasi yang didapat adalah nantinya akan disebarkan dibeberapa LPTK yang ada
di Indonesia. Hal tidak perlu menyibukkan. Hal yang terpenting adalah bagaimana
bisa lulus beasiswa ini.
Dering telepon
genggam menyadarkan aku yang sedang sibuk menatap video pada notebook pemberian
Nenek. Nomor baru yang tak terdaftar dalam kontak telepon genggam milikku
seketika itu juga mucul pada layar depan. Aku enggan untuk menerima panggilan
telepon tersebut. Aku lebih terpaku pada video yang telah menjadi pusat
perhatianku sejak tadi. Namun, egoku untuk melihat video itu harus mengalah
sejenak mendengar suara yang belum ku tahu jelas siapa orangnya.
“Halo selamat malam”,
sapa orang dibalik telepon membuka percakapan
“Malam juga, maaf ini siapa”,
balasku tegas
“Ini riki ya? Maaf ini mamanya temanmu Yovita meno”
balas suara itu menjelaskan
“Oh iya tante, ada apa?”
tanyaku bingung
“Tante tahu dari yovi kalau
kamu ikut seleksi beasiswa PPGT lewat jalur PPO itu, kebetulan tante kan
kerjanya di situ, dan ada kabar gembira buat kamu”,
jelas tante panjang lebar membuka pikiranku yang binggung sejak tadi
“Kabar gembira? Pasti
pengumuman” balasku yang tak sabar lagi
mendengarkan kabar gembira itu
“Kamu lulus, Nak. Kalo
tidak salah LPTK penempatanmu di UPI Bandung atau UNIMED Medan”
balas tante lagi yang tak memberikan kepastian yang jelas tentang penempatan
LPTK yang akan menjadi tempat belajarku.
Percakapan itupun kemudian diakhiri
dengan memberikan salam perpisahan dan pesan untuk berkumpul di Dinas PPO untuk
mendengarkan informasi selanjutnya. Dan yang terpenting adalah orang tua yang
harus ikut dalam pertemuan tersebut yang juga akan memberikan kepastian tentang
keberangkatan anaknya nanti.
Setelah
percakapan itu, aku belum langsung keluar kamar. Aku ragu untuk mengatakan hal
tersebut kepada mama. Aku trauma dengan jawaban ibu yang selalu sama akan masa
depan yang sudah terbuka lebar di depan mataku.
Setelah berpikir lama, aku
memutuskan juga untuk keluar kamar dan memberanikan diri untuk keluar kamar. Ku
dapati ibu yang sedang duduk di kursi berayaman tali plastik yang sedari tadi
terpaku menonton tayangan televisi papua yang menjadi kegemarannya. Aku langsung
duduk di bawah kakinya. Aku pun mengutarakan berita yang baru saja ku dengar.
Tetap saja sama respon mama tak berubah. Namun kali ini, Ibu tak berkata
apapun, hanya ada tatapan sedih yang masih memikirkan nasibnya jikalau anak
sulung kesayangannya pergi jauh untuk melanjutkan pendidikannya. Hanya mendapat
respon tersebut, aku pun langsung beranjak masuk ke kamar.
Tak
kehabisan akal, keesokan harinya, aku langsung berangkat menemui kerabat
keluarga yang membawa informasi tentang beasiswa ini hendak meminta
pertolongannya untuk mewakili orang tuaku saat pertemuan di Dinas PPO yang akan
berlangsung beberapa hari lagi. Karena kesibukannya kerabat yang ku temui tak
dapat hadir mewakili orang tua. Aku langsung menemui Opa. Opa sangat senang
mendengar kelulusan anaknya ini dan sangat berantusias untuk hadir dalam
pertemuan nanti. Opa pun memberikan penguatan kepadaku untuk tidak perlu takut
soal ibu. Opa yang akan menghadapi dan memberikan keyakinan kepada Ibu.
Hari
dimana pertemuan pun berlangsung. Sejumlah siswa telah memenuhi pelataran
kantor. Tak seorang pun dari mereka yang aku kenal. Kami pun diarahkan ke
sebuah ruangan kecil dengan deretan kursi yang telah tertata rapi di sana.
Terlihat banyak tumpukan berkas di sana. Pikirku ruangan tersebut gudang yang seketika
disulap menjadi tempat pertemuan. Setelah semua peserta yang lulus telah
memenuhi ruangan kecil itu, derap langkah kaki seorang lelaki paru baya memecah
keributan di ruangan tersebut. Seketika semua perhatian langsung tertuju
padanya. Dengan mengangkat kacamata yang menggantung di pipnya itu, ia pun
membuka pertemuan itu. Lelaki itu yang adalah kepala Dinas PPO waktu itu
didamping seorang wanita duduk tepat di samping kirinya. Ia membuka acara
pertemuan itu dengan memberikan pengantar singkat dan mengabsensi semua peserta
yang hadir pada waktu itu.
Pada
saat mengabsensi, aku terkejut dengan kedua nama siswa yang tak lagi asing
bagiku. Ternyata mereka adalah Helena dan Eni, teman dengan asal SMA yang sama.
Aku senang. Setidaknya aku punya teman seasal. Aku langsung menyapa mereka.
Sapaanku di balas oleh Eni. Perhatianku sibuk mencari Helena yang sejak tadi
tidak kelihatan raut wajahnya. Aku memutuskan untuk mengabarinya tentang kabar
ini. Aku langsung memberikan informasi lewat pesan singkat tentang kelulusannya
dan pertemuan yang telah berlangsung tersebut.
Sambil
menunggu balasan pesan dari Helena, perhatianku diusik kembali ke depan saat
ingin dibacakan penempatan LPTK masing-masing siswa yang lulus. Aku yang berada
di urutan pertama pada waktu itu mendapatkan kesempatan yang paling pertama
untuk mendengarkan. Aku takut isu yang diberitakan oleh Ibunda temanku Yovita
benar. Namun tak kuasa merasa senang dan penuh haru saat itu, aku mendengarkan
bahwa LPTK penempatanku adalah UNESA Surabaya. Aku adalah satu-satunya siswa
asal daerah yang mendapat penempatan di Surabaya. Sedangkan yang beberapa siswa
lainya mendapat penempatan di Semarang, Jogja, Bandung, hingga Padang. Eni,
teman satu sekolahan mendapat penempatan di Bengkulu. Sedangkan Helena mendapat
penempatan di Padang. Sangat jauh dari keberadaanku nantinya.
Setelah
pengumuman itu, orang tua masing-masing siswa dimintai kepastian dan
persetujuan tentang keberangkatan anaknya. Opa yang mewakili Ibu dengan tegas
mengiyakan keberangkatan anaknya untuk melanjutkan pendidikan. Aku sangat
senang namun pikiranku tetap saja pada Ibu yang akan memberikan restunya.
Pemikiran itu pun kemudian terusik oleh kehadiran pesan singkat yang adalah
pesan singkat Helena yang mengutarakan kemundurannya dari beasiswa ini karena
Ia telah menempuh pendidikan berbeasiswa pula di salah satu PTN terkenal di
kota Bogor. Pesan singkat itu pun kemudian langsung ku tunjukan pada Kepala
Dinas yang sedari tadi sibuk mengutak-atik telepon genggamnya. Namun Kepala
Dinas menginginkan kerabat atau keluarga dekat yang boleh memberikan kabar
resmi tentang kemunduran Helena tersebut. Pengunduran Helena itu pun kemudian
diterima Kepala Dinas setelah Om kandung Helena datang menemuinya.
Pertemuan
itu pun diakhiri dengan pemberitaan tentang keberangkatan. Semua peserta wajib
berangkat satu minggu setelah pertemuan itu berlangsung. Aku dan Opa kemudian
bergegas menuju rumah. Tetap saja fokus pemikiran utamaku tidak jauh dari Ibu
yang selalu mewarnai hari-hariku belakangan ini. Opaku menyarankan untuk
memiliki kehendak kuat kali ini.
“Tidak boleh kalah dari
keputusan mama nantinya. Harus berani melawan. Ini bukan soal kedurhakaan namun
soal masa depan, Nak” kata Opa yang menjadi
semangat yang kuat untuk berbicara pada Ibu.
Sesampainya di
rumah, Aku dan Opa menemui Ibu yang sdeang duduk di samping rumah. Ibu langsung
menyambut kedatangan kami. Sembari duduk, Opa memulai percakapan tentang hasil
keputusan rapat bersama di Kantor Dinas tadi. Opa menjelaskan bahwa
penempatanku tidak jauh dari kota tempat tinggalku, sehingga memudahkanku untuk
menjumpai Ibu di musim liburan nanti. Opa meyakini Ibu untuk memberikan
kesempatan untuk ku melanjutkan pendidikan tanpa harus memikirkan egonya
sendiri.
Tanpa berkata panjang lebar, Ibu luluh
dan berkata bahwa mengizinkan aku untuk melanjutkan pendidikan berbeasiswa ini.
Linangan air mata tak kuasa hanyut membasahi pipiku. Aku sangat senang
mendengar keputusan Ibu. Aku langsung mendekap Ibu. Aku berjanji bahwa seminggu
sebelum keberangkatanku akan ku habiskan bersama dengan Ibu.
Seminggu
sebelum keberangkatan itu, Ibu tetap saja tak berhenti menangisi anaknya yang
sebentar lagi akan meninggalkannya yang sakit berat itu. Aku pun seakan
mengurungkan niatku untuk berangkat. Namun pesan Opa sebelumnya selalu membuat
aku untuk tidak melakukannya. Aku lebih memilih untuk menghibur dan meyakini
Ibu tersebut. Seminggu sebelum keberangkatanku itu pun, kami sekeluarga
menyempatkan diri untuk berdoa bersama. Meminta penerangan dan perlindungan
bagiku saat bersekolah nanti. Pesan ibu yang selalu terngiang hingga sekarang
adalah selalu mendekatkan diri pada-Nya, hanya Dia-lah yang selalu mengerti
keadaanmu.
Hari
itu tanggal 25 Sepetember 2012, serorang anak yang selalu bergulat dengan
persoalan masa depannya pun memulai mimpinya. Tak kuat rasanya meninggalkan
Ibu, Adik Berto, dan Kakak Lelly sendirian. Terlebih Ibu dengan posisi dan
situasi yang sangat sehat. Aku tak kuasa menahan deraian air mata yang sejak
semalam telah mengucur deras karena harus meninggalkan semuanya di tempat ini.
Ku berikan Dekapan dan pesan kepada adik dan saudara perempuannya untuk selalu
menjaga dan mengabari kondisi Ibu. Seakan tak mau lepas rasanya. Dan kini tiba
saatnya harus berpamitan dengan Ibu. Aku tak bisa berkata apa-apa lagi saat
berhadapan dengan Ibu. Ibu yang saat itu sedang duduk di bawah lantai saat itu
meratapi kepergian anaknya. Aku bersimpuh di hadapannya. Ibu memeluk, mendekap,
dan membalurkan air liurnya di depan dahiku. Aku membalas dan mencium kening
Ibu. Ibu pun berpesan.
“Baik-baik di tanah
orang. Selalu buat yang baik di sana. Tujuanmu sekolah bukan yang lain. Mama
tahu kemampuan anak mama, jadi tidak boleh lulus saja namun lulus dengan
predikat. Jangan lupa selalu mendekatkan diri dengan Tuhan. Ikut kegiatan yang
positif. Dan jangan lupa untuk mendoakan mama, adik dan kakakmu di sini. Keluar
rumah, masuk rumah kembali tanpa kekurangan satupun”
pesan mama yang selalu mengharapkan yang terbaik buat anak sulungnya ini.
“Pesan ini akan ku bawa kemana saja aku melangkah”
janjiku dalam hati.
Pesan Ibu itu pun selalu menjadi
motivasi untuk melangkah. Pesan ini selalu terngiang hingga sekarang walau kini
sosok Ibu yang telah tiada.
Langkah kaki
terasa berat saat meninggalkan rumah. Semua doa dan pesan akan selalu ku bawa
mengiringi langkahku untuk berkarya di tanah orang. Aku pun diantar ojek yang
sudah menunggu sejak aku sedang berpamitan. Lambaian tangan tanda perpisahan
dari semua mereka yang mengantarku di pelataran rumah. Namun pusat perhatianku
tertuju kepada Ibu yang hanya bersandar di depan pintu rumah. Air mata tidak
bisa kubendung lagi. “Tuhan maafkan hamba-Mu yang meninggalkanya (ibu) dalam
keadaan seperti itu. Aku janji aku akan memberikan yang terbaik buat mereka.
Tanda berbakti kepadanya.
Tidak seorang
pun ada yang mengantarku ke bandara. Aku sudah terbiasa dengan hal seperti ini.
Semenjak kecil aku sudah terlatih, kemana-mana tak perlu diantar. Namun
harapanku yang sebenarnya adalah dimana keluarga yang paling aku sayangi dapat
mengantarku. Bukan menyamai keadaanku dengan teman yang diantar oleh keluarga
besar dan kerabat dekatnya, aku hanya rindu dengan keadaan yang sedang terjadi
diseberang mataku. Akupun mencoba untuk terus menguatkan diri ini untuk tidak
rapuh. “Semua punya latar belakang yang berbeda untuk mengambil jalan ini”
kataku menguatkan diri.
Waktu perjalanan, ku sempatkan untuk menikmati
semua yang ku lewati. Merekam setiap yang ada termasuk rumah kediamanku.
Senyuman khas tetangga dan orang-orang yang ku lewati seakan memberikan salam
perpisahan. Aku harus bersemangat semua ini untuk masa depan, kebahagiaan
keluarga, dan terlebih untuk kemuliaan nama-Nya. Perjalanan itu tidak
membutuhkan waktu yang lama. Setelah lima menit berjalan, ojek yang menjadi
tumpangan berhenti di depan tempat penurunan penumpang. Sudah ada seorang gadis
yang menungguku di sana. Ve, biasa akrab di panggil. Ia adalah siswa yang lulus
beasiswa ini dengan penempatan LPTK UNNES Semarang. Ia memutuskan untuk
berangkat bersamaku saat pertemuan yang berlangsung di Kantor Dinas kemarin
karena teman yang juga mendapatkan penempatan yang sama dengannya juga
mengundurkan diri. Kegiatan kami pun langsung disibukan dengan kegiatan check
in. Ini bukan kali pertama aku menggunakan alat transportasi ini, sehingga
bukan menjadi hal yang sulit dan membingungkan bagiku. Setelah selesai
membereskan segala urusan, kami pun berpamitan dengan keluraga Ve dan juga
kakak perempuanku yang ternyata menguntit perjalananku ke bandara bersama
kekasihnya. Aku pun mendekap kakak perempuanku yang sedari tadi menangisi akan
saudaranya yang akan pergi merantau. Aku pun memberikan pesan yang sama untuk
menjaga mama sampai aku kembali nanti.
Suara panggilan
menuju ruang tunggu pun terdengar, kami pun berjalan dan bergegas menuju
ruangan berbentuk persegi panjang dengan AC di setiap titik sudutnya yang
membuat ruangan itu sangat dingin. Setelah lima menit menunggu, kami bersama
penumpang lainnya dipersilahkan untuk menaiki pesawat. Lambaian tangan keluarga
penumpang yang mengantar membuatku membayangi wajah keluarga kecilku yang juga
mengantarku. Akupun menaiki tangga pesawat dan menunggu pesawat itu take off.
“Good bye Ende, See you again. I’m gonna miss you. I’ll
be back soon as a great teacher. I’ll be here to build you better than now. My
little home, Mom, brother, and sister, keep your selves well. I’ll prove your
requests, mom. And God protects me until I’ll be back here with all dreams who
have come true”, Doaku menyusuri tangga awal masa
depanku.
Dan kini aku
telah berada di sebuah kota besar dan telah menempuh pendidikan selama 3 tahun
dengan sudah banyak peristiwa yang telah
ku lewati. Kesemuanya itu ku lewati sebagai sebuah ungkapan rasa syukur karena
telah diberi kesempatan untuk menikmati semua ini secara cuma-cuma. Dalam
setiap langkah perjuanganku, ada rasa bangga karena aku bisa berada di sebuah
negeri dengan pencapaian yang sudah lumayan. Dan aku berharap hingga aku bisa
kembali nanti, aku bisa melakukan banyakm hal yang bisa menjadi sebuah tolak
ukur awal dalam berkarya sebagai pendidik di daerahku nanti.
#############
Komentar
Posting Komentar